Negeri Ini Negeri Kerajaan
Enampuluh tiga tahun sudah negeri ini secara resmi lepas dari tirani kolonial VOC, Inggris dan Jepang. Para pejuang negara sudah banyak yang berguguran, yang tersisa tinggal puing-puing bangunan peninggalan bersejarah beserta monumen-monumen yang dibangun untuk mengenang jasa-jasa mereka.
Bahkan terhitung sudah enam kali pergantian pemimpin, Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati dan sekarang Susilo Bambang Yudhoyono. Namun hakikat kemerdekaan serta pemerataan kesejateraan rakyat masih jauh dari kenyataan yang diharapkan.
Sejak bergulirnya Reformasi bulan Mei 1998, yang ditandai dengan mundurnya Bapak Pembangunan Soeharto, sejak saat itu pula dimulainya perkembangan antiklimaks bangsa ini. Yang awalnya dijuluki sebagai salah satu macan asia, sekarang telah menjadi bulan-bulanan negara-negara di dunia.
Sebut saja sejak lepasnya Timor-timur, kasus pulau sipadan, kasus Ambalat, penjualan pasir laut ke singapura. Klaim lagu-lagu kebangsaan dan lagu daerah oleh Malaysia, klaim kesenian Reog Ponorogo. Kasus pemfungsian orang-orang perbatasan Serawak dan Kalimantan oleh Malaysia dan masih banyak beberapa kasus yang sangat menyakitkan perasaan kita sebagai bangsa yang berdaulat dan bermartabat.
Kalau kita mau kilas balik ke sejarah masa lampau, sebenarnya Nusantara ini adalah negeri kerajaan, bukan negeri republik atau yang lain. Bahasa kasarnya, DNA bangsa ini adalah DNA kerajaan, sehingga sangat sulit membawa suasana ke DNA republik atau demokrasi. Kecuali jika kita bisa menciptkan suatu formula baru yang dapat memutus mata rantai dan susunan DNA kerajaan menjadi DNA yang lain.
Tidak salah jika pada masa soekarno dicetuskan ide demokrasi terpimpin, pada era soeharto dengan dwi fungsi ABRI. Itu adalah manifestasi dari nilai-nilai kerajaan yang telah mendarah daging di kawasan ini.
Tidak jauh-jauh ketika Ulama besar KH. Abdullah Gymnastiar menikah lagi, masyarakat pada rame-rame menggunjing, nggosip bahkan yang tadinya ngefans berat tiba-tiba alergi. Padahal itu sudah diatur di dalam kitab suci, dan merupakan bagian dari kebebasan demokrasi, bagian dari hak asasi manusia yang agung.
Pilkada yang selalu diwarnai keributan, belum siap menerima kekalahan, korupsi dimana-mana, pepatah jawa mengatakan "gak kuat derajat", tidak bisa membawa diri, tidak tahu diri.
Negeri ini belum siap dan tidak siap dengan era demokrasi, karena sebenarnya negeri ini adalah negeri kerajaan, DNA kerajaan.
Artikel Terkait:
- Teroris Dan Malaysia
- Sby Bakal Tergusur Dari Kursinya
- Bagaimana Membuat Indonesia Maju
- Prabowo Menuju RI 1
- Who's The Real Terorisme...?
- Palestina, Sebuah Tragedi Kemanusiaan
- Kelangsungan Hidup Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
- Indonesiaku
- Sing Edian Sopo Yo...?!
- 100 Tahun Kebangkitan Nasional, Sebuah Kebangkitan Yang Sia-Sia
- The Legend of Mister President
- Langgam Jawa
- Siapakah Nama Asli Ibu Kartini..?.