Kelangsungan Hidup Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Kita akan membicarakan tentang salah satu persoalan penting yaitu pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor). Narasumber kita adalah Ratnaningsih Dasahastarini dari Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN).
Ratnaningsih meminta semua pihak mendorong pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera membuat, membahas, dan mengesahkan undang-undang (UU) mengenai Pengadilan Tipikor, yang penting bagi pemberantasan korupsi. Ini terkait keputusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan waktu tiga tahun atau sampai Desember 2009 kepada pembentuk UU untuk membuat dan mengesahkan UU tersebut sebagai dasar hukum bagi kelangsungan hidup Pengadilan Tipikor.
Menurut Ratna, KRHN dari koalisi masyarakat sipil telah membuat rancangan UU (RUU) Pengadilan Tipikor ke Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Mereka juga telah bertemu berbagai pihak untuk RUU tersebut dapat segera dibahas dan disahkan. Kalau sampai awal tahun depan RUU ini gagal masuk ke DPR, maka presiden diharapkan mengeluarkan peraturan pengganti UU (Perpu). Jadi masih ada kesempatan memperpanjang kelangsungan hidup Pengadilan Tipikor.
Berikut wawancara Jaleswari Pramodhawardani dengan Ratnaningsih Dasa Hastarini.
Ratnaningsih Dasa Hastarini
Saya membaca di salah satu media bahwa Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, dimana Anda juga terlibatdi sana agak kecewa dengan belum terlihatnya tanda-tanda Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan meloloskan rancangan undang-undang (RUU) tentang pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor). Bagaimana awal mulanya dan mengapa kita harus merasa RUU Pengadilan Tipikor penting dan harus segera ada?
Kita sedang mengadvokasi RUU tentang Pengadilan Tipikor. Jadi bukan pada pemberantasan korupsinya, tapi terhadap lembaga pengadilannya. Ini sebenarnya bermula dari keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada akhir 2006 yang membatalkan sebuah pasal dalam undang-undang (UU) No.30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dimana pasal itu sebagai dasar hukum pembentukan Pengadilan Tipikor.
Apa pasal tersebut?
Pasal No.53 yaitu pasal yang menjelaskan bahwa korupsi diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Tipikor. Di situ jelas bahwa kasus yang dipegang KPK masuk ke Pengadilan Tipikor, bukan ke pengadilan umum yang biasa. Pengadilan Tipikor ini merupakan pengadilan khusus di bawah Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Kemudian ada Judicial Review mengenai pasal 53 tersebut dan MK menyatakan pasal itu dibatalkan karena dianggap ada dualisme penanganan kasus korupsi. Pertama, kasus korupsi yang ditangani oleh KPK yang kemudian masuk ke Pengadilan Tipikor. Kedua, di sisi lain ada juga kejaksaan yang menangani kasus korupsi tapi masuk ke Pengadilan Negeri biasa dan bukan Pengadilan Negeri khusus. Ini dianggap ada dualisme penanganan kasus korupsi. Tentunya kalau ada dualisme dalam penanganan hukum maka itu tidak akan membawa kepastian dan keadilan bagi yang mencari. Karena itu MK membatalkan pasal tersebut. Tapi pasal tersebut juga tidak serta merta berlaku saat itu karena khawatir penanganan kasus korupsi akan menjadi goncang jika Pengadilan Tipikor langsung tidak ada.
Jadi di satu sisi MK memang membatalkan pasal itu tapi di sisi lain membuka peluang untuk ini bisa direalisasikan?
Ya, jadi MK masih memberikan kesempatan bagi Pengadilan Tipikor untuk hidup dengan syarat pengadilan itu harus ada UU-nya sebagai landasan hukum keberadaan pengadilan tersebut.
Apakah ini yang Anda dan kawan-kawan dorongkan?
Ya, betul. MK memberikan waktu tiga tahun atau sampai Desember 2009 untuk membentuk UU tersebut. MK meminta dalam waktu tiga tahun para pembentuk UU diharapkan membentuk dan mengesahkan UU tersebut bagi kelangsungan hidup Pengadilan Tipikor. Pada saat itu kami dari koalisi civil society langsung membentuk tim. Kita membahas apa kira-kira yang penting atau apa sih yang harus ada dalam UU itu. Jadi dalam RUU yang kami susun harus jelas ada pernyataan bahwa Pengadilan Tipikor merupakan pengadilan khusus dan sebagai satu-satunya pengadilan yang menerima, memeriksa, dan memutuskan perkara korupsi.
Kita semua tahu bahwa korupsi di Indonesia sudah mencapai tingkat yang sudah memprihatinkan, tapi apa sebetulnya latar belakang kawan-kawan memperjuangkan ini, atau apa alasan yang paling penting bahwa kita perlu ada pengadilan khusus ini?
Ya, karena kita selalu top ranking kalau untuk urusan korupsi. Dari berbagai macam survei baik nasional maupun internasional, kita pasti masuk sepuluh besar, kita berprestasi dalam hal banyak-banyakan korupsi. Kedua, kita juga melihat upaya pemberantasan korupsi bukan baru sekarang. Sebenarnya sejak zaman Orde Lama sudah ada badan, tim, atau apapun namanya untuk memberantas korupsi, tapi selalu gagal. Setelah reformasi ini baru ada KPK, ada pengadilan korupsi, sehingga baru tampak berhasil bahwa Indonesia bisa menangani kasus korupsi. Selain itu juga ada masalah ketidak-percayaan masyarakat kepada lembaga yang sudah ada dalam hal ini kejaksaan dan pengadilan umum.
Ketidak-percayaan tersebut selain berdasarkan pengalaman, katakanlah, penanganan kasus korupsi itu sendiri, tapi di mana sebetulnya kelemahan pengadilan biasa secara teknis maupun hukum sehingga memerlukan pengadilan khusus?
Ya, karena ada banyak kasus. Dalam hal ini kalau kita bicara mafia peradilan maka itu sudah ada di semua lembaga penegak hukum. Misalnya, dulu ada kasus mantan Hakim Pengadilan Tinggi Yogyakarta Harini Wiyoso, dan biaya perkara yang masih ruwet di Mahkamah Agung (MA), sehingga ada kecurigaan mereka bermain, apalagi kemudian ada rombongan jaksa yang terkait Artalyta Suryani. Walaupun itu belum terbukti di pengadilan bahwa mereka terkait atau tidak tapi itu sudah tampak ada keterlibatannya. Jadi jelas masyarakat menginginkan lembaga baru yang independen.
Kalau kita melihat kebelakang, kehadiran KPK sebetulnya lebih sebagai respons terhadap ketidakmampuan pengadilan biasa untuk mengadili kasus-kasus korupsi. Ternyata di sanapun KPK menelurkan sebuah tindak lanjut upaya pemberantasan korupsi untuk mendirikan pengadilan Tipikor. Jadi ini respon terhadap sebuah ketidak-percayaan dari sebuah lembaga, UU, kebijakan tentang pemberantasan korupsi. Apakah KPK dan perangkatnya itu sudah menunjukkan keberhasilannya?
Iya sampai dengan detik ini. Memang KPK lahir karena ketidak-percayaan kepada kejaksaan. Pengadilan Korupsi ada karena tidak percaya pada pengadilan biasa. Jika kita membandingkan antara sejak berdirinya KPK dan belum ada, maka KPK dengan segala keterbatasannya cukup memuaskan. Artinya, banyak kasus korupsi yang berhasil dibongkar walaupun sempat muncul tuduhan tebang pilih. Namun kita mungkin juga perlu memahami keterbatasan KPK. Kedua, pada saat yang bersamaan, sejak awal dibentuk hingga saat ini Pengadilan Tipikor tidak pernah memberikan vonis bebas kepada koruptor. Artinya, kinerja KPK untuk memberikan bukti-bukti dan melakukan pembuktian di pengadilan juga baik, bagus, bisa diterima hingga para terdakwa terbukti melakukan tidak pidana korupsi. Ini berbeda dengan penanganan kasus korupsi yang berada di pengadilan biasa. Misalnya, ada kasus Neloe dimana dia bebas di pengadilan biasa, dan masih ada beberapa lainnya. Dari penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2006 menunjukkan hanya 17% kasus korupsi yang divonis bersalah, sedangkan lainnya bebas.
Mungkin saya agak sedikit keliru soal angka, tapi prosentasenya memang tidak banyak yang divonis bersalah. Itu belum lagi yang diputus hukuman di bawah dua tahun atau yang diputus ringan. Jadi bandingkan dengan Pengadilan Tipikor yang 100% masuk bui, terlepas apakah hukumannya satu tahun, dua tahun, atau lima tahun. Ini juga sudah menunjukkan sebenarnya bahwa mereka concern, komit untuk memberantas korupsi. Kerja KPK pun terbukti baik dalam hal pembuktian. Jadi itu yang mungkin membuat para koruptor menjadi ketar-ketir kalau ditangani oleh KPK karena ujungnya pasti masuk bui. Sementara kalau ditangani kejaksaaan mungkin mereka masih ada harapan untuk bebas.
Apa saja yang sudah dilakukan oleh Anda dan kawan-kawan selama ini untuk menggolkan RUU Pengadilan Tipikor?
Jadi ini sebenarnya perjalanan panjang. Dari awal 2007 kita membuat RUU-nya bersama para akedemisi. Kami independen membuat itu dengan beberapa prinsip-prinsip penting yang harus ada. Jadi kami boleh disebut civil society saja karena ada Non Government Organization (NGO) dan akademisi juga di dalamnya dalam membuat RUU. Kita mulai menyusun RUU dari Januari sampai sekitar Juli 2007. Kemudian pada Agustus 2007 kami menyerahkan RUU tersebut kepada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham) sebagai inisiatif masyarakat membuat sebuah peraturan UU
Bagaimana respons mereka?
Responnya sangat baik. RUU yang kami susun itu dijadikan "pedoman" bagi tim penyusun untuk menyusun RUU versi resmi pemerintah.
Apakah RUU dari pemerintah sendiri sudah ada atau belum ketika kawan-kawan menyerahkan RUU tersebut?
Belum. Jadi kami selesai dulu membuat RUU kemudian mereka baru membuat tim. Jadi kalau disebut RUU tandingan, bukan tandingan karena justru kami selesai duluan. Lalu kami menyerahkannya kepada Dephukham yang kemudian membentuk tim dengan mempertimbangkan RUU dari kami. Ada banyak juga usulan lainnya untuk RUU ini seperti dari KPK dan sebagainya. Jadi bukan hanya dari kalangan civil society. Tapi memang mungkin sekitar 75% dari yang kami usulkan diadopsi oleh tim pemerintah. Tim pemerintah sudah selesai menyusun RUU pada Desember 2007. Kemudian pada Januari 2008 RUU tersebut direvisi dengan bolak-balik ke presiden. Artinya, presiden sebenarnya sudah mengikuti RUU ini sejak awal 2008 karena prosesnya bolak-balik antara presiden dan Dephukham. Yang justru mengherankan mengapa sekarang ingin dibahas terus di rapat kabinet karena ini tentunya akan mengulur-ulur waktu untuk sampai ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Apakah ada atau tidak pasal-pasal krusial yang menurut tim presiden itu dianggap perlu diperbaiki, ditambah, dikurangi, dan segala macamnya?
Ya, yang saya tahu memang ada beberapa hal. Yang paling jelas adalah sebenarnya tidak ingin ada Pengadilan Tipikor
Apakah itu sudah berupa statement ?
Tidak, cuma dari mereka membungkusnya dengan mempertanyakan mengenai kategori pengadilan ini apakah pengadilan khusus atau bukan, sementara hal itu sudah jelas ada dalam ketentuannya. Mereka bertanya bagaimana pembentukannya nanti, anggarannya, dan sebagainya. Jadi saya pikir keengganan atau kegamangan dari pemerintah itu muncul dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu.
Apakah ini mencerminkan juga sikap politik dari Presiden SBY atau Anda melihat ini hanya respons dari segelintir orang, katakanlah yang merasa terganggu atau terancam dengan lahirnya RUU ini?
Mungkin iya, karena saya sendiri tidak melihat political will pemerintah dalam hal ini presiden untuk komit sungguh-sungguh memberantas korupsi. Ini akan melumpuhkan upaya pemberantasan korupsi jika RUU Ini tidak segera dibawa ke DPR
Apa yang perlu didorong supaya RUU Pengadilan Tipikor ini harus gol karena dari pemaparan Anda tadi dan saya pikir semua masyarakat Indonesia akan sepakat bahwa ini perlu, ini sesuatu yang penting karena kita tahu korupsi sudah merajalela di Indonesia?
Yang harus dilakukan adalah bagaimana menghilangkan keragu-raguan presiden untuk membawa atau mengirimkan RUU ini ke DPR.
Tapi ini tidak mudah, maksud saya, ini sebuah keputusan politik dan pasti ada kalkulasi politiknya, tapi hal sepenting ini sebetulnya justru yang akan menaikkan pamor presiden, dan sebagainya. Kalau kita mau mendorong RUU ini, apa yang dilakukan oleh kawan-kawan untuk menjalankan "misteri politik" itu?
Kami sudah bertemu dengan beberapa pihak terkait, seperti DPR, MK, dan juga Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) untuk bertanya mengenai hal yang sebenarnya, "Apa sih yang membuat Pak SBY kok ragu-ragu amat, sementara RUU sudah ada dan sebelumnya pun sudah ada Pengadilan Tipikor." Ini bukan menelurkan lembaga baru. Ini sudah ada hanya perlu payung hukumnya, tapi kok begitu ragu-ragu, kok begitu berat. Kalau kita berbicara politik memang ada banyak kemungkinan di belakang itu. Namun memang yang perlu didorong dan dipastikan kepada SBY bahwa ini untuk pemberantasan korupsi yang menjadi salah satu agenda pemerintahannya. Di awal pemerintahannya, SBY sangat berkomitmen sekali untuk memberantas korupsi. Yang kedua, masalah ini juga bukan hanya untuk segelintir orang, korupsi berkaitan dengan uang negara, uang rakyat. Uang itu bisa digunakan untuk pembangunan masyarakat kalau uangnya kembali. Yang berikutnya juga, kalau memang berani mengapa sih ini tidak dijadikan dagangan untuk pemilihan umum (Pemilu) saja? Jika RUU-nya bisa digolkan maka itu bisa menunjukkan presiden memiliki komitmen dan bisa tegas mengatakan bahwa, "Saya anti korupsi, saya melakukan upaya pemberantasan korupsi."
Dalam RUU tersebut yang sebagian besar masukkan dari kawan-kawan Anda, apakah ada atau tidak pasal-pasal agak mengancam orang-orang yang ada di birokrasi, misalnya, karena kita tidak menutup kenyataan bahwa sebenarnya korupsi kita lebih banyak di level birokrasi ini?
Oh iya, dari hasil survey juga justru lembaga peradilan yang paling banyak korupsinya. Kalau pasal-pasal yang mengancam mereka mungkin adanya di UU pemberantasan tindak pidana korupsi yang justru sudah ada sampai detik ini. Yang kami dorong sekarang itu payung hukum untuk keberadaan lembaganya.
Bagaimana secara garis besar isi RUU Pengadilan Tipikor?
Yang kita utamakan di situ adalah penegasan ada ketentuan yang menyatakan bahwa Pengadilan Tipikor sebagai satu-satunya pengadilan yang menerima, memeriksa, dan mengadili kasus korupsi. Itu yang paling utama karena memang dasar pembuatan RUU-nya untuk menghilangkan dualisme. Yang kedua, Pengadilan Tipikor bisa memeriksa kasus-kasus korupsi dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan korupsi tersebut.
Apakah Anda dan kawan-kawan yakin bahwa pengadilan Tipikor ini bisa steril dari pengaruh-pengaruh mafia peradilan dan semacamnya?
Sampai detik ini sih belum ada cerita.
Apakah di Pengadilan Tipikor itu nanti adalah orang-orang baru atau orang yang selama ini kita tahu mempunyai kredibilitas baik?
Jadi sama seperti Pengadilan Tipikor yang sekarang. Pengadilan Tipikor itu akan diisi oleh hakim-hakim dari korps hakim itu sendiri, yaitu dari MA dan hakim non karir. Artinya, orang yang di luar MA yang sering kita sebut sebagai hakim Ad-hoc. Hakim Ad-hoc ini memang kita pilih dari masyarakat yang mempunyai integritas baik, track record cukup bersih untuk menduduki posisi tersebut. Itu yang masih dipertahankan dalam RUU ini. Jadi tidak berbeda sama sekali dengan keberadaan Pengadilan Tipikor yang sekarang.
Apakah hakim Ad-hoc itu maksudnya hakim sementara?
Artinya, itu non karir bukan dari MA, dan yang kami usulkan masa jabatannya hanya untuk lima tahun di Pengadilan Tipikor.
Apakah pilihan memakai hakim Ad-hoc ini sebetulnya juga merespons kekecewaan masyarakat terhadap Pengadilan Negeri yang hakimnya hanya itu-itu saja sehingga akhirnya korupsi menjadi "terlembagakan" seperti semacam itu?
Ya, dari ketidak-percayaan pada orang dalam, mungkin begitu. Jadi kita mengambil unsur masyarakat untuk ada di dalam jajaran Majelis Hakim Pengadilan Tipikor.
Jadi asumsinya kalau dengan lembaga baru ini yang kemudian kita bisa "memilih" hakim-hakim yang katakan lebih bersih dan mempunyai integritas bagus, apakah itu yang membedakannya atau katakanlah harapan kita terhadap adanya Pengadilan Tipikor ini?
Ya, justru itu spesialisasi dari Pengadilan Tipikor ini.
Apakah Anda dan kawan-kawan pernah datang ke DPR?
Ya, sudah.
Bagaimana respons mereka dengan RUU Anda?
Manis wajahnya, tapi entah dalam hatinya karena kadang-kadang ada lobi-lobi politik, nuansa politis, yang kita tidak bisa kita tangani. Mereka mau kemana, kadang-kadang yang kita tidak ketahui. Memang sih ada beberapa orang yang pro artinya sepakat 100% adanya Pengadilan Tipikor, tapi bagaimanapun mereka ada di bawah naungan partai politik (Parpol). Sikap Parpol ini yang kita tidak mengetahuinya. Suara pribadi mengatakan, "Okay, saya setuju." Tapi belum tentu suara Parpol setuju.
Apakah Anda dalam gerakan anti korupsi ini pernah atau tidak memaksa Parpol agar dalam platformnya ada gerakan anti korupsi karena saya pikir ini bisa juga sebagai isu cukup seksi untuk Pemilu?
Kalau dari Parpolnya sendiri saya kurang mengetahui. Tapi saya yakin kalau jualan untuk isu ini pasti ada. Hanya tinggal bagaimana kita melihat kiprah mereka kemudian. Apakah mereka benar-benar anti korupsi atau anti "anti korupsi" jadi justru membela korupsi. Kita tinggal gampang saja, kalau yang tidak pro pada pemberantasan korupsi anggap saja itu politisi busuk, tidak usah dipilih lagi pada Pemilu berikutnya.
Seandainya gerakan Anda dan kawan-kawan untuk memperjuangkan RUU Pengadilan Tipikor yang sangat penting ini gagal, apa yang akan Anda dan kawan-kawan lakukan?
Kalau RUU ini kemudian gagal masuk ke DPR pada tahun ini, mungkin yang pertama kita lakukan masih berusaha ke presiden untuk mengeluarkan peraturan pengganti UU (Perpu). Artinya, kalau mengeluarkan Perpu, presiden tidak perlu konsultasi kepada DPR. Perpu itu haknya presiden. Jadi masih ada kesempatan, kita berusaha sepanjang memang presiden mempunyai political will yang bagus dalam pemberantasan korupsi. Kita mengharapkan ini tidak melewati 2009. Kalau akhir 2008 belum juga digelontorkan ke DPR, saya pikir sudah tidak ada waktu lagi karena Pemilu sudah sangat dekat. Jadi kalau sampai awal 2009 belum ada juga pengajuan RUU Pengadilan Tipikor, kita akan mencoba untuk mendorong presiden untuk berani mengeluarkan Perpu. Minimal umur pengadilan Tipikor masih bisa agak panjang. Nanti mungkin kita bisa mendorong lagi RUU Tipikor yang ada ke DPR baru atau mungkin presiden yang baru. Semoga saja presiden berikutnya mempunyai komitmen yang lebih baik dalam pemberantasan korupsi.
Sumber : perspektifbaru.com, edisi 642, 2008
Artikel Terkait:
- Teroris Dan Malaysia
- Sby Bakal Tergusur Dari Kursinya
- Bagaimana Membuat Indonesia Maju
- Prabowo Menuju RI 1
- Who's The Real Terorisme...?
- Palestina, Sebuah Tragedi Kemanusiaan
- Indonesiaku
- Sing Edian Sopo Yo...?!
- 100 Tahun Kebangkitan Nasional, Sebuah Kebangkitan Yang Sia-Sia
- The Legend of Mister President
- Langgam Jawa
- Siapakah Nama Asli Ibu Kartini..?.
- Negeri Ini Negeri Kerajaan